Tiga tahun setelah didirikannya, fungsi dari dana investasi negara ini mulai terlihat lebih jelas.
Otoritas Investasi Indonesia (dikenal sebagai INA) adalah dana investasi negara Indonesia yang telah beroperasi selama sekitar tiga tahun. Ketika INA pertama kali diusulkan, belum jelas apa yang akan dilakukan atau bagaimana strukturnya. Namun, dengan beberapa tahun operasi, peran dana ini dalam ekonomi Indonesia menjadi lebih tajam.
Pada tahun 2021, INA diberi modal awal $5 miliar dari negara. Ini termasuk sekitar $1,7 miliar dalam bentuk tunai, sebagian besar disimpan dalam deposito bank yang menghasilkan bunga dan obligasi pemerintah. Juga termasuk saham senilai $3,3 miliar di dua bank milik negara, Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia. Pada tahun 2023, total aset dana telah tumbuh menjadi sekitar $7,3 miliar dan mencatatkan keuntungan bersih $269 juta.
Sumber pendapatan utama dan arus kas operasional INA saat ini bukan dari portofolio investasinya, melainkan dari pendapatan bunga yang diperoleh dari obligasi dan deposito bank, serta dividen yang dibayarkan oleh Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia. Sektor perbankan Indonesia sedang mengalami pertumbuhan yang kuat, dan nilai saham yang dimiliki INA di bank-bank ini telah meningkat dari $3,3 miliar menjadi $4,8 miliar selama dua tahun terakhir.
Ini adalah cara yang cukup cerdas untuk menyusun dana karena meminimalkan pengeluaran kas langsung yang diperlukan oleh pemerintah. Selama sektor perbankan terus berjalan baik, saham INA di Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia akan menghasilkan arus kas sementara dana terus membangun portofolionya.
Dan ini membawa kita ke pertanyaan besar selanjutnya: apa sebenarnya yang ada di dalam portofolio tersebut? Mandat INA adalah untuk berinvestasi di sektor prioritas seperti transportasi, logistik, kesehatan, energi hijau, dan ekonomi digital. Pada tahun-tahun sebelumnya, INA membentuk perusahaan sub-holding yang berinvestasi di operator tower telekomunikasi Mitratel dan perusahaan farmasi milik negara, Kimia Farma. Mereka terus memegang investasi ini.
Namun, sebagian besar aktivitas signifikan INA sejauh ini berada di sektor jalan tol. Melalui perusahaan sub-holding, dana ini telah memperoleh saham kepemilikan di beberapa jalan tol di Jawa dan Sumatra dan apa yang dilakukannya sangat menarik. Mari kita lihat jalan tol Pejagan–Pemalang sebagai contoh. Ini adalah ruas jalan tol di Jawa yang dioperasikan oleh perusahaan konstruksi milik negara, Waskita Karya. Waskita sedang mengalami kesulitan keuangan saat ini sebagian besar karena memiliki banyak utang jangka pendek yang digunakan untuk membangun jalan tol tersebut.
INA masuk dan mengakuisisi 100 persen jalan tol Pejagan–Pemalang dari Waskita, yang akan membantu meringankan beberapa tekanan finansial pada perusahaan konstruksi milik negara tersebut. Saya rasa kita akan melihat lebih banyak hal seperti ini, karena jalan tol di Indonesia memiliki nilai ekonomi jangka panjang yang signifikan dan operator seperti Waskita dapat menggunakan suntikan modal segar. Dalam kasus Pejagan–Pemalang, kemudian INA menjual 53 persen jalan tol tersebut ke sejumlah investor asing dari UEA dan Belanda.